IDEALITAS PESANTREN
DULU, KINI DAN MASA DEPAN
I. PENDAHULUAN
Pesantren telah lama menjadi lembaga yang memiliki kontribusi penting dalam
ikut serta mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta
besarnya jumlah Santri pada tiap pesantren menjadikan lembaga ini layak
diperhitungkan dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa di bidang pendidikan
dan moral. Perbaikan-perbaikan yang secara terus menerus dilakukan terhadap
pesantren, baik dari segi manajemen, akademik (kurikulum) maupun fasilitas,
menjadikan pesantren keluar dari kesan tradisional dan kolot yang selama ini
disandangnya. Beberapa
pesantren bahkan telah menjadi model dari lembaga pendidikan yang leading.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik. Tidak
saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur,
metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut. Karena
keunikannya itu, C. Geertz menyebutnya sebagai subkultur masyarakat Indonesia
(khususnya Jawa). Pada zaman penjajahan, pesantren menjadi basis perjuangan
kaum nasionalis-pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis
pada dunia pesantren.
Pesantren sebagai tempat pendidikan agama memiliki basis
sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada
umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Visi ini menuntut
adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan
kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Sementara itu,
sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat mengingat pesantren merupakan kekuatan
sosial yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, akumulasi tata nilai dan
kehidupan spiritual Islam di pondok pesantren pada dasarnya adalah lembaga
tafaqquh fid din yang mengemban untuk meneruskan risalah Nabi Muhammad saw
sekaligus melestarikan ajaran Islam.
Sebagai lembaga, pesantren dimaksudkan untuk
mempertahankan nilai-niali keislaman dengan titik berat pada pendidikan.
Pesantren juga berusaha untuk mendidik para santri yang belajar pada pesantren
tersebut yang diharapkan dapat menjadi orang-orang yang mendalam pengetahuan
keislamannya. Kemudian, mereka dapat mengajarkannya kepada masyarakat, di mana
para santri kembali setelah selesai menamatkan pelajarannya di pesantren.
Dunia pesantren sarat dengan aneka pesona, keunikan,
kekhasan dan karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh institusi
lainnya. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam pertama dan khas pribumi
yang ada di Indonesia pada saat itu. Tapi, sejak kapan mulai munculnya
pesantren, belum ada pendapat yang pasti dan kesepakatan tentang hal tersebut.
Belum diketahui secara persis pada tahun berapa pesantren pertama kali muncul
sebagai pusat-pusat pendidikan-agama di Indonesia. Pesantren yang paling lama
di Indonesia namanya Tegalsari di Jawa Timur. Tegalsari didirikan pada ahkir
abad ke-18, walaupun sebetulnya pesantren di Indonesia mulai muncul banyak pada
akhir abad ke-19.
Namun, jika melihat beberapa hasil studi yang dilakukan
beberapa sarjana, seperti Dhofier (1870), Martin (1740), dan ilmuwan lainnya,
ada indikasi bahwa munculnya pesantren tersebut diperkirakan sekitar abad
ke-19. Akan tetapi, terlepas dari persoalan tersebut yang jelas signifikansi
pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tidak dapat diabaikan dari
kehidupan masyarakat muslim pada masa itu.
Kiprah
pesantren dalam berbagai hal sangat amat dirasakan oleh masyarakat. Salah satu
yang menjadi contoh utama adalah, selain pembentukan dan terbentuknya
kader-kader ulama dan pengembangan keilmuan Islam, juga merupakan
gerakan-gerakan protes terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Di mana gerakan protes tersebut selalu
dimotori dari dan oleh para penghuni pesantren. Setidaknya dapat disebutkanya
misalnya; pemberontakan petani di Cilegon-Banten 1888, (Sartono Kartodirjo;
1984) Jihad Aceh 1873, gerakan yang dimotori oleh H. Ahmad Ripangi Kalisalak
1786-1875) dan yang lainnya merupakan fakta yang tidak dapat dibantah bahwa
pesantren mempunyai peran yang cukup besar dalam perjalanan sejarah Islam di
Indonesia. (Steenbrink; 1984)
Setelah kemerdekaan negara Indonesia, terutama
sejak transisi ke Orde Baru dan ketika pertumbuhan ekonomi betul-betul naik
tajam, pendidikan pesantren menjadi semakin terstruktur dan kurikulum pesantren
menjadi lebih tetap. Misalnya, selain kurikulum agama, sekarang ini kebanyakan
pesantren juga menawarkan mata pelajaran umum. Bahkan, banyak pesantren
sekarang melaksanakan kurikulum Depdiknas dengan menggunakan sebuah rasio yang
ditetapkannya, yaitu 70 persen mata pelajaran umum dan 30 persen mata pelajaran
agama. Sekolah-sekolah Islam yang melaksanakan kurikulum Depdiknas ini
kebanyakan di Madrasah.
Seiring dengan keinginan dan niatan yang luhur dalam
membina dan mengembangkan masyarakat, dengan kemandiriannya, pesantren secara
terus-menerus melakukan upaya pengembangan dan penguatan diri. Walaupun
terlihat berjalan secara lamban, kemandirian yang didukung keyakinan yang kuat,
ternyata pesantren mampu mengembangkan kelembagaan dan eksistensi dirinya
secara berkelanjutan.
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas tentang (a)
Dinamika pesantren; (b) tantangan pembaharuan pesantren; (c) format pesantren
masa depan;.
II. PEMBAHASAN
A. Dinamika Pesantren
Pondok pesantren adalah salah satu pendidikan Islam di
Indonesia yang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri. Definisi pesantren sendiri
mempunyai pengertian yang bervariasi, tetapi pada hakekatnya mengandung
pengertian yang sama. Perkataan pesantren berasal dari bahasa sansekerta yang
memperoleh wujud dan pengertian tersendiri dalam bahasa Indonesia. Asal kata san berarti orang
baik (laki-laki) disambung tra berarti suka menolong, santra berarti
orang baik baik yang suka menolong. Pesantren berarti tempat untuk membina
manusia menjadi orang baik (Abdullah, 1983:328)
Sementara
itu HA Timur Jailani (1982:51) memberikan batasan pesantren adalah gabungan
dari berbagai kata pondok dan pesantren, istilah pesantren diangkat dari kata
santri yang berarti murid atau santri yang berarti huruf sebab dalam pesantren
inilah mula-mula santri mengenal huruf, sedang istilah pondok berasal dari kata
funduk (dalam bahasa Arab) mempunyai arti rumah penginapan atau hotel. Akan
tetapi pondok di Indonesia khususnya di pulau jawa lebih mirip dengan
pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang
dipetak-petak dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama bagi santri.
Selanjutnya
Zamaksari Dhofir (1982:18) memberikan batasan tentang pondok pesantren yakni
sebagai asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal
terbuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata funduk atau berarti hotel
atau asrama. Perkataan
pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe dan akhiran an yang
berarti tempat tinggal para santri. Secara umum pesantren memiliki
komponen-komponen kiai, santri, masjid, pondok dann kitab kuning
Sejak zaman penjajah, pondok pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat,
eksistensinya telah mendapat pengakuan masyarakat. Ikut terlibat dalam upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak hanya dari segi moril, namun telah pula
ikut serta memberikan sumbangsih yang cukup signifikan dalam penyelenggaraan
pendidikan. Sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh
fiddin)telah banyak melahirkan ulama, tokoh masyarakat, muballigh, guru agama
yang sangat dibutuhkan masyarakat. Hingga kini pondok pesantren tetap konsisten
melaksanakan fungsinya dengan baik, bahkan sebagian telah mengembangkan
fungsinya dan perannya sebagai pusat pengembangan masyarakat. (Depag RI,
2003a:1)
Secara fisik, sebuah pesantren biasanya terdiri dari
unsur-unsur berikut: di pusatnya ada sebuah masjid atau langgar, surau yang
dikelilingi bangunan tempat tinggal kyai (dengan serambi tamu, ruang depan,
kamar tamu), asrama untuk pelajar (santri) serta ruangan-ruangan
belajar. Pesantren sering berada di perbatasan pedesaan dan terpisah, dibatasi
dengan pagar. Mereka kebanyakan menguasai lahan per-tanian sendiri, yang sering
dihibahkan oleh penduduk desa untuk tujuan-tujuan agama. Kesenjangan dalam
tingkat keanekaragaman organisasi amat besar dan dapat ditunjukkan berdasarkan
kompo nen-komponen pranata-pranatanya yang membentuk pe-santren. Dari sini
terjadi kristalisasi jenis-jenis yang nyata dari organisasi pesantren sebagai
berikut:
- Jenis A: yaitu pesantren yang
paling sederhana.
- Jenis B:
yaitu memiliki semua komponen pondok pesantren yang “klasik”.
- Jenis C:
yaitu bentuk klasik yang diperluas dengan suatu madrasah.
- Jeni D:
yaitu bentuk klasik yang diperluas dengan suatu madrasah ditambah dengan
program tambahan seperti ketrampilan.
5. Jenis E: yaitu pesantren modern yakni di samping
sektor pendidikan ke-Islaman klasik juga mencakup semua tingkat sekolah formal
dari Sekolah Dasar (Madrasah Ibtidaiyah) sampai tingkat Perguruan Tinggi.
Pararel dengannya diselenggarakan juga program pendidikan ketrampilan.
Usaha-usaha pertanian dan kerajinan lainnya termasuk di dalamnya.
Program-program pendidikan yang berorientasi lingkungan mendapat prioritas
utama, pesantren mengambil pra-karsa dan mengarahkan kelompok-kelompok swadaya
di lingkungannya. (Manfred Ziemek:1986)
Pembagian jenis yang disebut di atas memberikan suatu
gambaran singkat ten tang tingkat keanekaragaman pranata sesuai dengan spektrum
komponen suatu pesantren.
Sedangkan menurut penulis, ada lima klasifikasi, yaitu:
- Pondok
Pesantren Salaf/Klasik: yaitu pondok pesantren yang di dalamnya terdapat
sistem pendidikan salaf(weton dan sorogan), dan sistem
klasikal (madrasah) salaf.
- Pondok
Pesantren Semi Berkembang: yaitu pondok pesantren yang di dalamnya
terdapat sistem pendidikan salaf (weton dan sorogan), dan
sistem klasikal (madrasah) swasta dengan kurikulum 90% agama dan 10% umum.
- Pondok
Pesantren Berkembang: yaitu pondok pesantren seperti semi berkembang,
hanya saja sudah lebih bervariasi dalam bidang kurikulumnya, yakni 70%
agama dan 30% umum. Di samping itu juga diselenggarakan madrasah SKB Tiga
Menteri dengan penambahan diniyah.
- Pondok
Pesantren Khalaf/Modern: yaitu seperti bentuk pondok pesantren berkembang,
hanya saja sudah lebih lengkap lembaga pendidikan yang ada di dalamnya,
antara lain diselenggarakannya sistem sekolah umum dengan penambahan diniyah
(praktek membaca kitab salaf), perguruan tinggi (baik umum
maupun agama), bentuk koperasi dan dilengkapi dengan takhasus (bahasa
Arab dan Inggris).
- Pondok
Pesantren Ideal: yaitu sebagaimana bentuk pondok pesantren modern hanya
saja lembaga pen-didikan yang ada lebih lengkap, terutama bidang
ke-trampilan yang meliputi pertanian, teknik, perikanan, perbankan,
dan benar-benar memperhatikan kualitas-nya dengan tidak menggeser ciri
khusus kepesantren-annya yang masih relevan dengan kebutuhan
masya-rakat/perkembangan zaman. Dengan
adanya bentuk tersebut diharapkan alumni pondok pesantren benar-benar
berpredikat khalifahfil ardli.
Pondok pesantren yang ideal adalah pondok pesantren yang
mampu mengantisipasi adanya pendapat yang mengatakan bahwa alumni pondok
pesantren tidak berkuali-tas. Oleh sebab itu, sasaran utama yang diperbaharui
adalah mental, yakni mental manusia dibangun hendaknya diganti dengan mental
membangun. (H.A. Mukti Ali, 1971:19)
Dalam menghadapi era globalisasi dan informasi pondok
pesantren perlu meningkatkan peranannya karena Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw sebagai agama yang berlaku seantero dunia sepanjang masa. Ini
berarti ajaran Islam adalah global dan melakukan globalisasi untuk semua.
(surat al-Hujurat:13) kunci dari ayat diatas yakni setiap persaingan yang
keluar sebagai pemenang adalah yang berkualitas, yaitu memiliki iman-takwa,
kemampuan, ilmu pengetahuan, teknologi dan ketrampilan (Rahim, 2001:160).
Disinilah peran pondok pesantren perlu ditingkatkan, tuntutan globalisasi tidak
mungkin dihindari. Maka salah satu langkah bijak, kalau tidak mau dalam
persaingan, adalah mempersiapkan pondok pesantren agar “tidak ketinggalan
kereta”.
Azyumardi Azra (2000:48) mengatakan dengan demikian,
keunggulan SDM yang ingin dicapai pondok pesantren adalah terwujudnya generasi
muda yang berkualitas tidak hanya pada aspek kognitif, tetapi juga pada aspek
afektif dan psikomotorik. Dalam kerangka ini, SDM yang dihasilkan pondok
pesantren diharapkan tidak hanya mempunyai perspektif keilmuan yang lebih
integrative dan komprehensif antara bidang ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
keduniaan tetapi juga memiliki kemampuan teoritis dan praktis tertentu yang
diperlukan dalam masa industri dan pasca industri.
Berkaitan dengan hal tersebut, Mulyasa (2002:vi)
mengatakan bahwa peserta didik (santri) harus dibekali dengan berbagai
kemampuan sesuai dengan tuntutan zaman dan reformasi yang sedang bergulir, guna
menjawab tantangan globalisasi, berkontribusi pada pembangunan masyarakat dan
kesejahteraan sosial, lentur, dan adaptif terhadap berbagai perubahan.
Permasalahan seputar pengembangan model pendidikan pondok
pesantren dalam hubungannya dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia
(human resources) merupakan isu actual. Dalam bidang pendidikan, misalnya,
pesantren dapat dikatakan kalah bersaing dalam menawarkan suatu model
pendidikan kompetitif yang mampu melahirkan out put (santri) yang memiliki kompetensi
dalam penguasaan ilmu sekaligus skill sehingga dapat menjadi bekal terjun
kedalam kehidupan sosial yang terus mengalami percepatan perubahan akibat
modernisasi yang ditopang kecangihan sains dan teknologi. Kegagalan pendidikan
pesantren dalam melahirkan sumberdaya santri yang memiliki kecakapan dalam
bidang ilmu-ilmu keislaman dan penguasaan teknologi secara sinergis
berimplikasi terhadap kemacetan potensi pesantren kapasitasnya sebagai salah
satu agents of social change dalam berpartisipasi mendukung proses transformasi
sosial bangsa. (Masyhud, 2003: 17).
Pesantren mengalami perkembangan kuantitas luar biasa dan
menakjubkan, baik di wilayah rural (pedesaan), sub-urban (pinggiran kota),
maupun urban (perkotaan). Data Departemen agama menyebutkan pada 1977 jumlah
pesantren masih sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri sekitar 677.394 orang.
Jumlah ini mengalami peningkatan berarti pada tahun 1985, di mana pesantren
berjumlah sekitar 6.239 buah dengan jumlah santri sekitar 1.084.801 orang. Dua
dasawarsa kemudian 1997, Depag mencatat jumlah pesantren sudah mencapai
kenaikan mencapai 224% atau 9.388 buah dan kenaikan jumlah santri mencapai 261%
atau 1.770.768 orang. Data terakhir Depag tahun 2001 menunjukan jumlah
pesantren seluruh Indonesia sudah mencapai 11.312 buah dengan santri sebanyak
2.737.805 orang. Jumlah ini meliputi pesantraen salafiyah, tradisional sampai
modern. (Masyhud, 2003: 4)
Sejalan dengan kecenderungan deregulasi di bidang
pendidikan, penyeretan pendidikan juga di arahkan kepada pesantren. Jika pada
masa lalu (orde baru) tidak ada satupun pendidikan pesantren yang mendapatkan
status (sertifikasi), saat ini sudah dua pesantren yang telah mendapatkan
(disamakan dengan pendidikan umum), yakni pesantren Gontor (Ponorogo), dan
pesantren Al-Amin (Madura). Sedangkan pesantren tipe ketiga atau dikenal dengan
“Pesantren Salafiyah” telah memperoleh penyetaraan melalui SKB dua menteri
(Menag dan Mendiknas) No. 1/U/KB/2000 dan No. MA/86/2000, tertanggal 30 Maret
2000. SKB ini memberikan kesempatan kepada pesantren salafiyah untuk ikut
menyelengarakan pendidikan dasar sebagai upaya mempercepat pelaksanaan program
wajib belajar,dengan persyaratan penambahan mata pelajaran Bahasa Indonesia,
Matematika dan IPA dalam kurikulumnya. SKB memiliki implikasi yang sangat
besar, karena dengan demikian eksistensi pendidikan pesantren tipe ketiga tetap
terjaga, dan bahkan dapat memenuhi ketentuan sebagai pelaksana wajib belajar
pendidikan dasar.
Pendidikan pesantren juga dapat dikatakan sebagai modal
sosial dan bahkan soko guru bagi perkembangan pendidikan nasional di Indonesia.
Karena pendidikan pesantren yang berkembang sampai saat ini dengan berbagai
ragam modelnya senantiasa selaras dengan jiwa, semangat, dan kepribadian bangsa
Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Maka dari itu, sudah sewajarnya
apabila perkembangan dan pengembangan pendidikan pesantren akan memperkuat
karakter sosial system pendidikan nasional yang turut membantu melahirkan
sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang memiliki kehandalan penguasaan
pengetahuan dan kecakapan teknologi yang senantiasa dijiwai nilai-nilai luhur
keagamaan. Pada akhirnya, sumber daya manusia yang dilahirkan dari pendidikan
pesantren ini secara ideal dan praktis dapat berperan dalam setiap proses
perubahan sosial menuju terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat yang
paripurna. (Masyhud, 2003:9)
Pada era otonomi daerah sekarang ini, keberadaan
pesantren kembali menemukan momentum relevansinya yang cukup besar untuk
memainkan kiprahnya sebagai elemen penting dalam proses pembangunan sosial.
Terlebih lagi otonomi mengandalkan kemandirian tiap-tiap daerah dalam mengatur
rumah tangga daerahnya sendiri berdasarkan kemampuan swadaya daerah tersebut
tanpa adanya campur tangan pemerintah pusat yang cukup besar. Keberadaan pesantren
menjadi petner yang ideal bagi institusi pemerintah untuk bersama-sama
meningkatkan mutu pendidikan yang ada di daerah sebagai basis bagi pelaksanaan
Transformasi sosial melalui penyediaan sumber daya manusia yang qualified dan
berakhlakul karimah. Terlebih lagi, proses transformasi sosial di era otonomi
mensyaratkan daerah lebih peka menggali potensi lokal dan kebutuhan
masyarakatnya sehingga kemampuan yang ada dalam masyarakat dapat dioptimalkan.
Untuk dapat memainkan peran edukatifnya dalam penyediaan sumber
daya manusia yang berkualitas mensyaratkan pesantren harus meningkatkan mutu
sekaligus memperbaruhi model pendidikannya. Sebab, model pendidikan pesantren
yang mendasarkan diri pada system konvensional atau klasik tidak akan banyak
cukup membantu dalam penyediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi
integratif baik dalam penguasaan pengetahuan agama, pengetahuan umum dan
kecakapan teknologis. Padahal ketiga elemen ini merupakan prasyarat yang tidak
bias diabaikan untuk konteks perubahan social akibat modernisasi. Seperti
sekilas diungkapkan dalam latar belakang masalah, tanpaknya tipe ideal model
pendidikan pondok pesantren yang dapat dikembangkan saat sekarang ini adalah
tipe integrasi antara system pendidik klasik dan system pendidikan modern.
Pengembangan tipe ideal ini tidak akan merubah total wajah dan keunikan system
pendidikan pesantren menjadi sebuah model pendidikan umum yang cenderung
reduksionistik terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam sitem pendidikan
pondok pesantren.
B. Tantangan Pembaharuan Pesantren
Ketika menginjak abad ke-20, yang sering disebut sebagai
jaman modernisme dan nasionalisme, peranan pesantren mulai mengalami pergeseran
secara signifikan. Sebagian pengamat mengatakan bahwa semakin mundurnya peran
pesantren di masyarakat disebabkan adanya dan begitu besarnya faktor politik
Hindia Belanda. (Aqib Suminto; 1985). Sehingga, fungsi dan peran pesantren
menjadi bergeser dari sebelumnya. Tapi, penjelasan di atas kiranya cukup untuk
menyatakan bahwa pra abad ke-20 atau sebelum datangnya modernisme dan
nasionalisme, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tak tergantikan oleh
lembaga pendidikan manapun. Dan, hal itu sampai sekarang masih tetap
dipertahankan.
Yang menarik di sini adalah bahwa sebagian besar
pendidikan pesantren di Indonesia belum testandardisasi secara kurikulum dan
tidak terorganisir sebagai satu jaringan pesantren Indonesia yang sistemik. Ini
berarti bahwa setiap pesantren mempunyai kemandirian sendiri untuk menerapkan
kurikulum dan mata pelajaran yang sesuai dengan aliran agama Islam yang mereka
ikuti. Sehingga, ada pesantren yang menerapkan kurikulum Depdiknas (Departemen
Pendidikan Nasional) dengan menerapkan juga kurikulum agama. Kemudian, ada
pesantren yang hanya ingin memfokuskan pada kurikulum ilmu agama Islam saja.
Yang berarti bahwa tingkat keanekaragaman model pesantren di Indonesia tidak
terbatasi.
Dalam zaman yang ditandai dengan cepatnya perubahan di
semua sektor dewasa ini, pesantren menyimpan banyak persoalan yang
menjadikannya agak tertatih-tatih, kalau tidak malah kehilangan kreativitas,
dalam merespon perkem-bangan zaman. Beberapa pesantren yang ada pada saat ini,
masih kaku (rigid) mempertahankan pola salafiyah yang diang-gapnya
sophisticated dalam menghadapi persoalan eksternal. Padahal, sebagai suatu
institusi pendidikan, keagamaan, dan sosial, pesantren dituntut melakukan
kontekstualisasi tanpa harus mengorbankan watak aslinya. Kenapa ini bisa
terjadi?
Pertama, dari segi kepemimpinan pesantren secara kukuh
masih terpola dengan kepemimpinan yang sentralistik dan hierarkis yang berpusat
pada satu orang Kiai. Ihwal pendirian pesantren memang mempunyai sejarah yang
unik. Berdirinya pesantren biasanya atas usaha pribadi kiai. Maka dalam
perkem-bangan selanjutnya dia menjadi figur pesantren. Pola semacam ini tak
pelak mengimplikasikan sistem manajemen yang otoritarianistik. Pembaruan
menjadi hal yang sangat sulit dilakukan karena sangat (ber/ter)-gantung pada
sikap sang kiai. Pola seperti ini pun akan berdampak kurang prospektif bagi
kesinambungan pesantren di masa depan. Banyak pesantren yang sebelumnya
populer, tiba-tiba “hilang” begitu saja karena sang kiai meninggal dunia.
Kedua, kelemahan di bidang metodologi. Telah umum
diketahui bahwa pesantren mempunyai tradisi yang kuat di bidang transmisi
keilmuan klasik. Namun karena kurang adanya improvisasi metodologi, proses
transmisi itu hanya melahirkan penumpukan keilmuan. Dikatakan oleh Martin van
Bruinessen, ilmu yang bersangkutan dianggap sesuatu yang sudah bulat dan tidak
dapat ditambah. Jadi, proses transmisi itu merupakan penerimaan secara taken
for granted. Muhammad Tholhah Hasan, mantan Menteri Agama dan salah seorang
intelektual Muslim dari kalangan pesantren NU, pernah mengkritik bahwa tradisi
pengajaran yang mendapatkan penekanan di pesantren itu adalah fiqih (fiqh
oriented), sehingga penerapan fiqih menjadi teralienasi dengan realitas sosial
dan keilmuan serta teknologi kontemporer.
Ketiga, terjadinya disorientasi, yakni pesantren
kehilangan kemampuan mendefinisikan dan memosisikan dirinya di tengah realitas
sosial yang sekarang ini mengalami perubahan yang demikian cepat. Dalam konteks
perubahan ini, pesantren menghadapi dilema antara keharusan mempertahankan jati
dirinya dan kebutuhan menyerap budaya baru yang datang dari luar pesantren. Kalau oleh MM. Billah pesantren
diberi ciri kontekstual, yaitu ciri-ciri lingkungan sekitar (sosial dan fisik)
di mana pesantren berada, yang tersadap oleh dan memberi warna pada ciri-ciri
pesantren, maka kini ciri kontekstual tersebut terjadi pemekaran, yang juga
sudah mulai merambah ke desa. Pesantren dituntut melakukan reorientasi terhadap peran pendidikan,
keagamaan, dan sosialnya. Kalau “tempo doeloe” ketika struktur komunal desa
masih bertahan, hubungan pesantren dengan masyarakat tampak begitu interaktif.
Bahkan, pesantren dapat memerankan
dirinya sebagai cultural broker, meminjam istilah Clifford Geertz. Bagaimana
sekarang? Agaknya sudah menjadi fenomena umum, bahwa sebagian besar pesantren
hanya kebagian peran melakukan konservasi atau cagar budaya.
Sebagai
sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan,
pengembangan pesantren harus terus didorong. Karena pengembangan pesantren
tidak terlepas dari adanya kendala yang harus dihadapinya. Apalagi belakangan
ini, dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara
cepat, yang tentunya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
berpengaruh terhadap dunia pesantren.
Terdapat
beberapa tantangan yang tengah dihadapi oleh sebagian besar pesantren dalam
melakukan pengembangannya, yaitu:
- Image pesantren sebagai sebuah
lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan
teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah mempengaruhi
pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren. Hal tersebut
merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera mungkin oleh dunia
pesantren dewasa ini.
- Sarana dan
prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari
segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan
terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat
menetapnya santri. Selama ini, kehidupan pondok pesantren yang penuh
kesederhanaan dan kebersahajaannya tampak masih memerlukan tingkat
penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih dan sehat yang
didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana yang layak dan
memadai.
- Sumber
daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan tidak
dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan
peranan pondok pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat,
diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya
manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang
berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadi pertimbangan
pesantren.
- Aksesibilitas dan networking.
Peningkatan akses dan networking merupakan salah satu kebutuhan untuk
pengembangan pesantren. Penguasaan akses dan networking dunia pesantren
masih terlihat lemah, terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di
daerah pelosok dan kecil. Ketimpangan antar pesantren besar dan pesantren
kecil begitu terlihat dengan jelas.
- Manajemen
kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam pengelolaan
pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pondok pesantren dikelola
secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang
masih belum optimal. Hal
tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian (data base)
santri dan alumni pondok pesantren yang masih kurang terstruktur.
- Kemandirian ekonomi
kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan
aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan
pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian pesantren. Tidak
sedikit proses pembangunan pesantren berjalan dalam waktu lama yang hanya
menunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar, bahkan harus melakukan
penggalangan dana di pinggir jalan.
- Kurikulum yang berorientasi
life skills santri dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan
wawasan dan pengalaman keagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat
tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan
masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus
ditunjang oleh kemampuan yang bersifat keahlian. (Saifuddin Amir, 2006)
Mengutip
Sayid Agil Siraj (2007), ada tiga hal yang belum dikuatkan dalam pesantren,
yaitu:
- Tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak
pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya
masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini, pesantren perlu
berbenah diri.
- Tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan
pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak
melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah satu contoh para santri masih setia dengan
tradisi kepesantrenannya. Tetapi,
mereka juga harus akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan
serta sains modern lainnya.
- Hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam
hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam.
Di sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi
yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi
yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi.
Namun
demikian, pesantren akan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam yang
mempunyai visi mencetak manusia-manusia unggul. Prinsip pesantren adalah al
muhafadzah ‘ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah,
yaitu tetap memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan mengambil
hal-hal baru yang positif. Persoalan-persoalan yang berpautan dengan civic
values akan bisa dibenahi melalui prinsip-prinsip yang dipegang pesantren
selama ini dan tentunya dengan perombakan yang efektif, berdaya guna, serta
mampu memberikan kesejajaran sebagai umat manusia (al musawah bain al nas).
Apabila kita cermati, di Indonesia terdapat sekira 12.000
pesantren yang tersebar di seluruh nusantara dengan berbeda bentuk dan
modelnya. Bahkan, dihuni tidak kurang dari tiga juta santri. Pendidikan Islam
sekarang di Indonesia kini begitu luas. Sehingga, beranekaragam dan
bagaimanapun aliran Islam yang dianut oleh seseorang, pasti ada pesantren atau
sekolah Islam yang sesuai. Karena itu, pesantren seharusnya mampu menghidupkan
fungsi-fungsi sebagai berikut,
- Pesantren
sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh
fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic vaues);
- Pesantren sebagai lembaga
keagamaan yang melakukan kontrol sosial;
- Pesantren sebagai lembaga
keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering) atau
perkembangan masyarakat (community development).
Semua
itu, menurutnya hanya bisa dilakukan jika pesantren mampu melakukan proses
perawatan tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan
keilmuan baru yang lebih baik, sehingga mampu memainkan peranan sebagai agent
of change.
C. Format Pesantren Masa Depan
Sudah tidak diragukan lagi bahwa pesantren memiliki
kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis,
pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan
masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan
menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.
Pembangunan manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah atau masyarakat semata-mata, tetapi menjadi tanggung jawab semua
komponen, termasuk dunia pesantren. Pesantren yang telah memiliki nilai
historis dalam membina dan mengembangkan masyarakat, kualitasnya harus terus
didorong dan dikembangkan. Proses pembangunan manusia yang dilakukan pesantren
tidak bisa dipisahkan dari proses pembangunan manusia yang tengah diupayakan
pemerintah.
Proses pengembangan dunia pesantren yang selain menjadi tanggung
jawab internal pesantren, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari
proses pembangunan pemerintah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta
pesantren dalam proses pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun
masyarakat, daerah, bangsa, dan negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah
mengalami krisis (degradasi) moral. Pesantren sebagai lembaga pendidikan
yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral, harus menjadi pelopor
sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa. Sehingga, pembangunan tidak
menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.
Pesantren pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung
kepada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu,
pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam.
Karena itu, pesantren tidak mudah disusupi oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam.
Pendidikan pondok pesantren yang merupakan bagian dari
Sistem Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1) Kyai sebagai
pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri; 2) Kurikulum pondok
pesantren; dan 3) Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid,
rumah kyai, dan pondok, serta sebagian madrasah dan bengkel-bengkel kerja
keterampilan. Kegiatannya terangkum dalam “Tri Dharma Pondok pesantren”
yaitu: 1) Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT; 2) Pengembangan
keilmuan yang bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan
negara
Berangkat dari kenyataan, jelas pesantren di masa yang
akan datang dituntut berbenah, menata diri dalam mengahadapi persaingan bisnis
pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah dan lainnya. Tapi
perubahan dan pembenahan yang dimaksud hanya sebatas menejemen dan bukan
coraknya apalagi berganti baju dari salafiyah ke mu’asyir (modern), karena hal
itu hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif Pesantren seperti yang terjadi
sekarang ini, lulusannya ora iso ngaji.
Maka, idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi
tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafannya.
Pertahankan pendidikan formal Pesantren khususnya kitab kuning dari Ibtidaiyah
sampai Aliyah sebagai KBM wajib santri dan mengimbanginya dengan pengajian
tambahan, kegiatan extra seperti kursus computer, bahasa inggris, skill lainnya
dan program paket A, B dan C untuk mendapatkan Ijazah formalnya. Atau dengan
menjalin kerjasama dengan sekolah lain untuk mengikuti persamaan. Jika hal ini
terjadi, akan lahirlah ustad-ustad, ulama dan fuqoha yang mumpuni.
Sekarang ini, ada dua fenomena menarik dalam dunia
pendidikan di Indonesia yakni (a) munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai
tingkat dasar hingga menengah); (b) penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering
disebut dengan boarding school. Nama lain dari istilah boarding
school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler
dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama
atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik
berada di bawah didikan dan pengawasan para guru pembimbing.
Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai
ilmu dan teknologi secara intensif. Selama di lingkungan asrama mereka ditempa
untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus tadi, tak lupa
mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka
adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas
kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi
makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan
romantika yang seperti itu pula. Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah
berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua.
Secara tradisional jejaknya dapat kita selami dalam
dinamika kehidupan pesantren, pendidikan gereja, bahkan di bangsal-bangsal
tentara. Pendidikan berasrama telah banyak melahirkan tokoh besar dan mengukir
sejarah kehidupan umat manusia. Kehadiran boarding school adalah suatu
keniscayaan zaman kini. Keberadaannya adalah suatu konsekwensi logis dari
perubahan lingkungan sosial dan keadaan ekonomi serta cara pandang religiusitas
masyarakat.
- Lingkungan
sosial kita kini telah banyak berubah terutama di kota-kota besar.
Sebagian besar penduduk tidak lagi tinggal dalam suasana masyarakat yang
homogen, kebiasaan lama bertempat tinggal dengan keluarga besar satu klan
atau marga telah lama bergeser kearah masyarakat yang heterogen, majemuk,
dan plural. Hal ini berimbas pada pola perilaku masyarakat yang berbeda
karena berada dalam pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula. Oleh karena
itu sebagian besar masyarakat yang terdidik dengan baik menganggap bahwa
lingkungan sosial seperti itu sudah tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan
dan perkembangan intelektual dan moralitas anak.
- Keadaan
ekonomi masyarakat yang semakin membaik mendorong pemenuhan kebutuhan di
atas kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bagi kalangan
mengengah-atas yang baru muncul akibat tingkat pendidikan mereka yang
cukup tinggi sehingga mendapatkan posisi-posisi yang baik dalam lapangan
pekerjaan berimplikasi pada tingginya penghasilan mereka. Hal ini mendorong niat dan
tekad untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak melebihi
pendidikan yang telah diterima orang tuanya.
- Cara pandang religiusitas.
Masyarakat telah, sedang, dan akan terus berubah. Kecenderungan terbaru
masyarakat perkotaan sedang bergerak kearah yang semakin religius. Indikatornya adalah semakin
diminati dan semaraknya kajian dan berbagai kegiatan keagamaan. Modernitas
membawa implikasi negatif dengan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan
ruhani dan jasmani. Untuk
itu masyarakat tidak ingin hal yang sama akan menimpa anak-anak mereka.
Intinya, ada keinginan untuk melahirkan generasi yang lebih agamis atau
memiliki nilai-nilai hidup yang baik mendorong orang tua mencarikan sistem
pendidikan alternatif.
Dari
ketiga faktor di atas, sistem pendidikan boarding school seolah
menemukan pasarnya.
Dari
segi sosial, sistem boarding school mengisolasi anak didik dari lingkungan
sosial yang heterogen yang cenderung buruk. Di lingkungan sekolah dan asrama
dikonstruksi suatu lingkungan sosial yang relatif homogen yakni teman sebaya
dan para guru pembimbing. Homogen dalam tujuan yakni menuntut ilmu sebagai sarana mengejar cita-cita.
Dari
segi ekonomi, boarding school memberikan layanan yang paripurna sehingga
menuntut biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu anak didik akan benar-benar terlayani
dengan baik melalui berbagai layanan dan fasilitas.
Dari segi semangat religiusitas, boarding school
menjanjikan pendidikan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani,
intelektual dan spiritual. Diharapkan akan lahir peserta didik yang tangguh
secara keduniaan dengan ilmu dan teknologi, serta siap secara iman dan amal
soleh.
Nampaknya,
konsep Islamic boarding school menjadi alternatif pilihan sebagai model
pengembangan pesantren yang akan datang. Pemerintah diharapkan semakin serius
dalam mendukung dan mengembangkan konsep pendidikan seperti ini. Sehingga,
pesantren menjadi lembaga pendidikan yang maju dan bersaing dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berbasis pada nilai-nilai spiritual yang
handal.
III.
PENUTUP
Prinsip
pesantren adalah al muhafadzah ‘ala al qadim al shalih, wa al akhdzu
bi al jadid al ashlah, yaitu tetap memegang tradisi yang positif, dan
mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif. Persoalan-persoalan
yang berpautan dengan civic values akan bisa dibenahi melalui
prinsip-prinsip yang dipegang pesantren selama ini dan tentunya dengan
perombakan yang efektif, berdaya guna, serta mampu memberikan kesejajaran
sebagai umat manusia (al musawah bain al nas).
Pesantren
di masa yang akan datang dituntut berbenah, menata diri dalam mengahadapi
persaingan bisnis pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah dan
lainnya. Tapi perubahan dan pembenahan yang dimaksud hanya sebatas menejemen
dan bukan coraknya apalagi berganti baju dari salafiyah ke mu’asyir (modern),
karena hal itu hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif Pesantren seperti
yang terjadi sekarang ini, lulusannya ora iso ngaji. Maka, idealnya pesantren ke depan harus
bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai
kesalafannya. Nampaknya, konsep Islamic boarding school sebagai telah
dijelaskan di atas dapat menjadi alternatif pilihan sebagai model pengembangan
pesantren yang akan datang. Pemerintah
diharapkan semakin serius dalam mendukung dan mengembangkan konsep pendidikan
seperti ini. Sehingga, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang maju dan
bersaing dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berbasis
pada nilai-nilai spiritual yang handal.
Keberadaan
pesantren merupakan patner yang ideal bagi institusi pemerintah untuk
bersama-sama meningkatkan mutu pendidikan yang ada di daerah sebagai basis bagi
pelaksanaan Transformasi sosial melalui penyediaan sumber daya manusia yang
qualified dan berakhlakul karimah. Terlebih lagi, proses transformasi sosial di
era otonomi mensyaratkan daerah lebih peka menggali potensi lokal dan kebutuhan
masyarakatnya sehingga kemampuan yang ada dalam masyarakat dapat
dioptimalkan.Untuk dapat memainkan peran edukatifnya dalam penyediaan sumber
daya manusia yang berkualitas mensyaratkan pesantren harus meningkatkan mutu
sekaligus memperbaruhi model pendidikannya. Sebab, model pendidikan pesantren
yang mendasarkan diri pada system konvensional atau klasik tidak akan banyak
cukup membantu dalam penyediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi
integratif baik dalam penguasaan pengetahuan agama, pengetahuan umum dan
kecakapan teknologis.