KAIDAH-KAIDAH FIQHIYAH
A. Pengertian Kaidah Fiqhiyah
Kata Qai’dah fiqhiyah terdiri dari dua kata yakni qa’idah dan fiqhiyyah. Qa’idah kata mufrad yang jama’nya qawa’id menurut bahasa berarti dasar atau asas. Dan kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah berarti kumpulan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf, yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang terperinci.
Pengertian Qa’idah fiqhiyyah menurut Dr. Musthafa Ahmad az-Zarqa ialah:
اُصُوْلٌ فِقْهِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ فىِ نُصُوْصٍ مُوْجِزَةٍ دُسْتُوْرِيَّةٍ تَضْمَنُ أَحْكَامًا تَشْرِيْعِيَّةً عَامَّةً فِى الْحَوَادِثِ الَّتِى تَذْخُلُ تَحْتَ مَوْضُوْعِهَا
“Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencangkup (sebagian besar bagian-bagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada pristiwa-pristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.”
Menurut Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy, qa’idah fiqhiyyah itu ialah:
“qa’idah-qa’idah yang bersifat kully dan dari maksud-maksud syara’ menetapkan hukum (maqashidusy syar’i) pada mukalaf serta dari memahami rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya.” [2]
B. Macam-macam Kaidah Fiqhiyyah
Kaidah fiqhiyyah dibagi menjadi 3 macam yaitu:
1. Lima kaidah dasar yang mempunyai skala cakupan menyeluruh, lima kaidah ini memiliki ruang lingkup Furi’iyyah yang sangat luas, komprehensif, dan unversal, sehingga hampir menyentuh semua elemen hukum fiqih.
2. Kaidah-kaidah yang mempunyai cangkupan furu’ cukup banyak, tetapi tak seluas yang pertama, kaidah ini biasa disebut sebagai al-qawa’id al-aghlabiyah.
3. Kaidah yang mempunyai cangkupan terbatas (al-qawa’id al-qaliliyah) bahkan cendrung sangat sedikit.[3]
C. Perbedaan Antara Kaidah Fiqhiyyah dan Kaidah Ushuliyah
Perbedaan antara keduanya adalah sebagi berikut:
1. Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syar’i. Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil (baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib dihilangkan.
2. Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i) tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya terkandung kedua hal tersebut.
3. Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ di bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat istitsna’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
4. Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek). Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqih maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain.
5. Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.
6. Kaidah-kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama sepakat bahwa kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang qot’i. Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah bagi mujtahid ‘alim dan bukank hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
7. Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh.
8. Kaidah Ushuliyah diperoleh secara deduktif, sedangkan fiqhiyah secara induktif. Kaidah ushuliyah merupakan mediator untuk meng-istinbath-kan hukum syara’ amaliyah, sedangkan kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa diikat oleh kesamaan ‘illat atau kaidah fiqhiyah yang mencakupnya dan tujuannya taqribu al-masa’il –alfiqhiyawa tashiliha.[4]
D. Kaidah Assasiyah dan Kaidah Far’iyah .
1. الامـور بـمـقـاصـده (Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)
Contoh: kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang namanya niat, kalau kita tidak bertemu dengan yang namanya niat berarti kita tidak pernah sholat.begitu juga dengan yang lainnya, seperti puasa, zakat, haji dll. Kita pasti bertemu dengan yang namnya niat.[5]
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا........
Artinya:
”Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat.”(QS. Ali-Imran: 145)
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
· Kaidah
مَا لاَ يُشْتَرَطُ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَ تَفْصِيْلاً اِذَا عَيَّنَهُ وَاَخْطَأَ لَمْ يَضُرَّ
“ suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global maupun secara terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, kesalahannya itu tidak membhayakan (membatalkan).”
· Kaidah
وَ مَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ التَّعَرُّضُ فَالْخَطَأُ فِيْهِ مُبْطِلٌ
“suatu amal yang disyaratkan penjelasannya maka kesalahannya membatalkan perbuatan tersebut.”
· Kaidah
وَ مَا يَجِبُ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَ لاَ يُشْتَرَطُ تَعْيِيْنُهُ تَفْصِيْلاً اِذَا عَيَّنَهُ فَاَخْطَأَ ضَرٌّ
“suatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan secara terperinci, karena apabila disebut secara terprinci dan ternyata salah, kesalahannya itu dapat membahayakan.”
· Kaidah
النِّبَةُ فىِ الْيَمِيْنِ تُخَصِّصُ اللَّفْظَ الْعَامِ وَلاَ تَعُمُّ الْخاصُّ
“niat dalam sumpah mengkhususkan lafadz umum dan tidak pula menjadikan umum pada lafadz yang khusus.”
· Kaidah
مَقَاصُ اللَّفْظِ عَلَى نِيَةِ الَّافِظِ اِلَّا فِى مَوْضِعٍ وَاحِدٍ وَهُوَ الْيَمِيْنُ عِنْدَ الْقَاضِى فَاِنَّهَا عَلَى نِيَةِ اْلقَاضِى
“maksud dari suatu lafadz adalah menerut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam satu tempat, yang dalam sumpah dihadapan hakim. Dalam keadaan demikian, maksud lafadz menurut niat hakim.”[6]
· kaidah
الْعِبَرَةُ فِى الْعُقُوْدِ الْمَقَاصِدُ وَ الْمَعَانِى لَا لِلْأَلْفَاظِ وَالْمَعَانِى
“yang dimaksud dalam akad adalah maksud atau makna bukan lafadz atau bentuk perkataan.”
2. الضرر يـزال (Kemudharatan harus dihilangkan)
Contoh: kalau misalkan ada pohon besar dengan buah yang banyak yang mana buah tersebut sering jatuh dan sering mengenai kepala orang yang lewat dibawahnya hingga ada yang harus dibawa ke rumah sakit, maka dengan beracuan pada kaidah ini pohon tersebut harus di tebang.
Dasar kaidah ini beracuan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 56:
Artinya:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
· Kaidah
الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُرَةِ
“kemudaratan membolehkan yang mudarat (dilarang).”
· Kaidah
مَا أُبِيْحُ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَّرِهَا
“apa-apa yang dibolehkan karena mudarat diperkirakan sewajarnya, atau menurut batasan ukuran kebutuhan minimal.”
· Kaidah
الضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“kemudaratan tidak dapat hilang kemudaratan lain.”
· Kaidah
إِذَا تَعَارَضَ الْمُفْسِدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا صَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“jika ada dua kemudaratan yang bertentangan, diambil kemudaratan yang paling besar.”[7]
· Kaidah
دَرْءُالْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“menolak kemafasadatan didahulukan daripada mengambil kemalahatan.”
· Kaidah
الْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرَوْرَةِ عَامَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً
“kebutuhan itu menempati kemudaratan, baik secara umum maupun khusus.’
3. الـعـادة محكـمة (Kebiasaan dapat menjadi hukum)
Contoh: ketika di suatu tempat ada suatu kebiasaan, yang mana kebiasaan tersebut telah mendarah daging, maka dengan sendirinya kebiasaan tersebut akan menjadi hukum, misalkan kebiasaan petik laut, kalau ada masyarakat pesisir yang tidak melakukan petik laut tersebut, maka dia akan dikucilkan oleh masyarakat setempat.
Kaidah tersebut didasarkan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 199:
Artinya:
“jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”
Ada perbedaan antara al-adah dengan ‘urf. Adat (al-adah) adalah perbuatan yang terus menerus dilakukan oleh manusia yang kebenarannya logis, tapi tidak semuanya menjadi hukum. Sedangkan ‘urf, jika jika mengacu pada “al-ma’ruf”, berarti kebiasaan yang normatif dan semuanya dapat dijadikan hokum, karena tidak ada yang bertentangan dengan al-quran atau hadits.
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
· Kaidah
لَا يُنْكَرُ تَغْيِيْرُ الْأحْكَامِ بِتَغْيِيْرِ الْأَزْمِنَةِ وَالْأَمْكِنَةِ
“tidak diingkari perubahan hukum disebaban perubahan zaman dan tempat.”
· Kaidah
الْمَعْرُوْفُ عُرْفًا كَالْمَشْرُطِ شَرْطًا
“yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.”
· Kaidah
الثَّابِتُ بِالْمَعْرُوْفِ كَالثَّابِةِ بِالنَّصِّ
“yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash.[8]
4. لايزال بالشـك اليـقـين (Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)
Contoh: kalau misalkan kita mau melakukan sholat, tapi kita masih ragu apakah kita masih punya wudhu’ atau tidak, maka kita harus berwudhu’ kembali, akan tetapi kalau kita yakin kita masih punya wudhu’, kita langsung sholat saja itu sah, meski pada kenyataannya wudhu’ kita telah batal.
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
· Kaidah
الأَصْلُ بَقَاءُ مَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ
“asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya.”
· Kaidah
الْأَصْلُ بَرَاءَةٌ الذِّمَّةِ
“asal itu bebas dari tangugan.”
· Kaidah
الْأَصْلُ الْعَدَمُ
“asal itu tidak ada”
· Kaidah
الْأَصْلُ فِى كُلِّ حَدِيْثٍ تُقَدِرُهُ بِأَقْرَبِ الزَّمَانِ
“asal dalam setiap keadaan dilihat dari waktunya yang terdekat.”
· Kaidah
الْأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ اَلْإِبَاحَةٌ
“asal dari sesuatu adalah kebolehan”
· Kaidah
الْأَصْلُ فَى الْإبَاحَةِ التَّحْريْمُ
“asal dari kemubahan adalah keharaman.”[9]
5. المـشـقة تـجـلب التـيسـير (Kesukaran mendatangkan kemudahan)
Contoh: apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalana tersebut sudah sampai pada batas diperbolehkannya mengqasar sholat, maka kita boleh mengqasar sholat tersebut, karena apa bila kita tidak mengqsar shoalat kemungkinan besar kita tidak akan punya waktu yang cukup untuk shalat pada waktunya. Karena seseorang yang melakukan perjalanan pastilah akan dikejar waktu untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan yang sulit di lakukan apabila harus melakukan sholat pada waktu sholat tersebut.
Qaidah ini berdasarkan pada ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 185:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
Surat An-Nisa’ ayat 28:
Artinya:
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
· Kaidah
إِذَا ضَاقَ الأَّمْرُ إِتَّسَعَ وَإِذَا اتَّسَعَ الْأَمْرُ ضَاقَ
“apabila suatu peerkara itu sempit, hkumnya menjadi luas, sebaliknya, jika suatu perkara itu luas, huumnya menjadi sempit.”
· Kaidah
كُلُّ مَا تَجَاوَزَ حَدُّهُ إنْعَكَسَ إِلَى ضِدِّهِ
“semua yang melampaui batas, hukumnya berbalik mejadi keblikannya,”
· Kaidah
الرَّخْصُ لَا تُنَطُ بِالمَعَاصِى
“rukhsah-rukhsah itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.”
· Kaidah
الرَّخْصُ لَا تُنَطُ بِالشَّكِّ
“rukhsah itu tidak dapat di sangkut pautkan dengan keraguan.”[10]
SIMPULAN
Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh. Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain.
Qawaidul fiqhiyah adalah suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu.
Qawaid ushuliyah adalah hukum kulli (umum) yang dibentuk dengan bentuk yang akurat yang menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan fiqh dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil.
Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam menginstinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar